Bedah Buku 9 Summers 10 Autumns: Perjuangan Menggapai Mimpi

Iwan 1

Sejak awal tahun ini Perpustakaan Pusdiklat BPK RI terus berupaya membenahi diri dalam rangka meningkatkan pelayanan perpustakaan untuk para peserta diklat dan pegawai. Salah satu kegiatan untuk menggerakkan minat baca dilakukan melalui acara bedah buku. Bedah buku perdana diselenggarakan pada Senin, 16 Maret 2015 lalu dengan mengundang Iwan Setiawan penulis 9 Summers 10 Autumns.

“Ini adalah cerita perjuangan hidup keluarga saya, sebuah keluarga dengan lima orang anak yang hidup bersama dalam rumah berukuran 6 x 7 meter,” ujar Iwan mengawali kisahnya. Laki-laki asal Batu, Malang ini mengungkapkan tentang lika-liku perjuangan hidup yang harus dilewati oleh kedua orang tuanya mengantarkan anak-anak mereka untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik.

Ayah berprofesi sebagai seorang sopir angkutan umum dan ibunya seorang ibu rumah tangga tidak membuat keluarga mengabaikan pentingnya pendidikan. “Ibu saya ingin semua anaknya kuliah. Gila, memang kalau dipikir pada saat itu!” ujar laki-laki lulusan Institut Pertanian Bogor jurusan Statistika ini. Nyaris tidak masuk akal, namun bukan berarti tidak mungkin. Hal itulah yang mengawali perjuangan seorang ibu agar kelima anaknya mendapatkan pendidikan hingga jenjang tertinggi. Ibu yang membelah satu telur dadar menjadi empat bagian. Ibu yang menghadirkan demokrasi berbagi di tengah pergulatan hidup. Ibu yang tahu barang mana lagi yang bisa digadai untuk membayar uang sekolah anaknya.

Hidup dalam keluarga sederhana membuat Iwan hidup terdampar di ruang tamu rumahnya. Kamar yang ada di rumahnya ditempati oleh kedua orang tua dan keempat saudara perempuannya. Ia harus berpuas diri tidur di atas ranjang bambu di sudut ruang tamu. Iwan kecil pun bermimpi memiliki sebuah kamar sendiri suatu saat nanti. Sebuah impian sederhana yang membawanya hingga ke New York, Amerika Serikat sebagai salah satu director perusahaan Nielsen.

Keprihatinan ekonomi keluarganya ternyata juga membentuk Iwan kecil menjadi seorang anak yang rendah diri – minder. Ia melihat anak-anak seusianya pada waktu itu mendapatkan kehidupan yang lebih baik dari dirinya. Hal itu membuat Iwan bertekad untuk tekun belajar dan meraih prestasi akademis di sekolahnya. Prestasi akademis yang diperjuangkannya dengan keringat dan airmata itu membuatnya mampu berdiri tegak.

Meskipun hampir separuh jalan hidupnya penuh dengan cobaan, Iwan merasakan hal tersebut justru sebuah perjuangan yang memang harus dilewatinya. Sebuah perjuangan untuk meraih sesuatu yang lebih berharga. Pada akhirnya Iwan bisa tersenyum saat melihat orang-orang yang ia cintai pada akhirnya dapat mengecap manisnya hidup. “Kenangan itu, betapapun pahitnya, selalu bisa dikenang dan ditempatkan kembali di ruang yang lebih tepat di hati kita.” (ds)